Selasa, 20 Maret 2012

Suku Gorontalo


Sosial Budaya Gorontalo

Sebelum masa penjajahan keadaan daerah Gorontalo berbentuk kerajaan-kerajaan yang diatur menurut hukum adat ketatanegaraan Gorontalo. Antara agama dengan adat di Gorontalo menyatu dengan istilah “Adat bersendikan Syara’ dan Syara’ bersendikan Kitabbullah”. Pohalaa Gorontalo merupakan pohalaa yang paling menonjol diantara kelima pohalaa tersebut. Itulah sebabnya Gorontalo lebih banyak dikenal.

Menurut masyarakat Gorontalo, nenek moyang mereka bernama Hulontalangi, artinya ‘seorang pengembara yang turun dari langit’. Tokoh ini berdiam di Gunung Tilongkabila, akhirnya ia menikah dengan seorang wanita pendatang bernama Tilopudelo yang singgah dengan perahu ke tempat itu. Perahu tersebut berpenumpang 8 orang. Mereka inilah yang kemudian menurunkan komunitas etnis atau suku Gorontalo. Sebutan Hulontalangi kemudian berubah menjadi Hulontalo dan akhirnya Gorontalo. 
Orang Gorontalo menggunakan bahasa Gorontalo, yang terbagi atas tiga dialek, dialek Gorontalo, dialek Bolango, dan dialek Suwawa. Saat ini yang paling dominan adalah dialek Gorontalo.


Agama
 
Orang Gorontalo hampir dapat dikatakan semuanya beragama Islam (99 %). Islam masuk ke daerah ini sekitar abad ke-16. Karena adanya kerajaan-kerajaan di masa lalu sempat muncul kelas-kelas dalam masyarakat Gorontalo: kelas raja dan keturunannya (wali-wali), lapisan rakyat kebanyakan (tuangolipu). Ada kemungkinan Islam masuk ke Gorontalo sekitar tahun 1400 Masehi (abad XV), jauh sebelum wali songo di Pulau Jawa, yaitu ditandai dengan adanya makam seorang wali yang bernama ‘Ju Panggola’ di Kelurahan Dembe I, Kota Barat, tepatnya di wilayah perbatasan Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo.
 
Seni & Budaya Daerah
 
Gorontalo sebagai salah satu suku yang ada di Pulau Sulawesi memiliki aneka ragam kesenian daerah, baik tari, lagu, alat musik tradisional, adat-istiadat, upacara keagamaan, rumah adat, dan pakaian adat. 
Tarian yang cukup terkenal di daerah ini antara lain, Tari Bunga, Tari Polopalo, Tari Danadana, Zamrah, dan Tari Langga.  
Sedangkan lagu-lagu daerah Gorontalo yang cukup dikenal oleh masyarakat Gorontalo adalah Hulandalo Lipuu (Gorontalo Tempat Kelahiranku), Ambikoko, Mayiledungga (Telah Tiba), Mokarawo (Membuat Kerawang), Tobulalo Lo Limuto (Di Danau Limboto), dan Binde Biluhuta (Sup Jagung).
 
Alat musik tradisional yang dikenal di daerah Gorontalo adalah Polopalo, Bambu, dan Gambus (berasal dari Arab).

Rumah Adat
 
Gorontalo memiliki rumah adatnya sendiri, yang disebut Bandayo Pomboide dan Dulohupa. Rumah adat ini terletak di tepat di depan Kantor Bupati Gorontalo, Jalan Jenderal Sudirman, Limboto. Dulohupa terletak di di Kelurahan Limba U-2, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo. Akan tetapi, rumah adat Dulohupa yang satu ini kini tinggal kenangan karena sudah diratakan dengan tanah. Rumah adat ini digunakan sebagai tempat bermusyawarat  kerabat kerajaan pada masa lampau. 



Rumah Adat Dulohupa di Limba U-2, 
Kota Selatan, Gorontalo 
(tinggal kenangan)

Pada masa pemerintahan para raja, rumah adat ini digunakan sebagai ruang pengadilan kerajaan, untuk memvonis para pengkhianat negara melalui sidang tiga alur pejabat pemerintahan, yaitu Buwatulo Bala (Alur Pertahanan / Keamanan), Buwatulo Syara (Alur Hukum Agama Islam), dan Buwatulo Adati (Alur Hukum Adat).

Bahasa Daerah
 
Orang Gorontalo menggunakan bahasa Gorontalo, yang terbagi atas tiga dialek, dialek Gorontalo, dialek Bolango, dan dialek Suwawa. Saat ini yang paling dominan adalah dialek Gorontalo.
Penarikan garis keturunan yang berlaku di masyarakat Gorontalo adalah bilateral, garis ayah dan ibu. Seorang anak tidak boleh bergurau dengan ayahnya melainkan harus berlaku taat dan sopan. Sifat hubungan tersebut berlaku juga terhadap saudara laki-laki ayah dan ibu.
Menurut masyarakat Gorontalo, nenek moyang mereka bernama Hulontalangi, artinya ‘pengembara yang turun dari langit’. Tokoh ini berdiam di Gunung Tilongkabila.  Kemudian dia menikah dengan salah seorang perempuan pendatang yang bernama Tilopudelo yang singgah dengan perahu ke tempat itu. Perahu tersebut berpenumpang delapan orang. Mereka inilah yang kemudian menurunkan orang Gorontalo, tepatnya yang menjadi cikal bakal masyarakat keturunan Gorontalo saat ini. Sejarawan Gorontalo pun cenderung sepakat tentang pendapat ini karena hingga saat ini ada kata bahasa Gorontalo, yakni 'Hulondalo' yang bermakna 'masyarakat, bahasa, atau wilayah Gorontalo'. Sebutan Hulontalangi kemudian berubah menjadi Hulontalo dan akhirnya menjadi Gorontalo.
Pakaian Adat
Gorontalo memiliki pakaian khas daerah sendiri baik untuk upacara perkawinan, khitanan, baiat (pembeatan wanita), penyambutan tamu, maupun yang lainnya. Untuk upacara perkawinan, pakaian daerah khas Gorontalo disebut Bili’u atau  Paluawala. Pakaian adat ini  umumnya dikenal terdiri atas tiga warna, yaitu ungu, kuning keemasan, dan hijau.


Pakaian Adat Perkawinan Gorontalo ‘Bili’u’ 

Pakaian Khitanan Gorontalo

Nuansa Warna bagi Masyarakat Gorontalo
 
Dalam adat-istiadat Gorontalo, setiap warna memiliki makna atau lambang tertentu. Karena itu, dalam upacara pernikahan masyarakat Gorontalo hanya menggunakan empat warna utama, yaitu merah, hijau, kuning emas, dan ungu. Warna merah dalam masyarakat adat Gorontalo  bermakna ‘ keberanian dan tanggung jawab;  hijau bermakna ‘kesuburan, kesejahteraan, kedamaian, dan kerukunan’; kuning emas bermakna  ‘kemuliaan, kesetian, kebesaran, dan kejujuran’; sedangkan warna ungu bermakna ‘keanggunanan dan kewibawaan’.
Pada umumnya masyarakat adat Gorontalo enggan mengenakan pakaian warna coklat karena coklat melambangkan ‘tanah’. Karena itu, bila mereka ingin mengenakan pakaian warna gelap, maka mereka akan memilih warna hitam yang bermakna ‘keteguhan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa’. Warna putih bermakna ‘kesucian atau kedukaan’.
Karena itu, mayarakat Gorontalo lebih suka mengenakan warna putih bila pergi ke tempat perkabungan atau kedukaan atau ke tempat ibadah (masjid).
Biru muda sering dikenakan pada saat peringatan 40 hari duka, sedangkan biru tua dikenakan pada peringatan 100 hari duka.
Dengan dasar pandangan terhadap warna tersebut, maka pada hiasan untuk upacara pernikahan masyarakat Gorontalo hanya menggunakan empat warna utama di atas (merah, hijau, kuning emas, dan ungu). Sebagaimana disebutkan di atas, masyarakat Gorontalo memiliki pakaian khas tersendiri untuk berbagai upacara adat baik perkawinan, pengkhitanan, pembaitan, dan penyambutan tamu. Pakaian adat pengantin disebut Paluawala atau Bili’u.  Pada waktu akad nikah pengantin mengenakan pakaian adapt yang disebut Wolimomo dan Payungga. Saat itu pengantin pria berada di kamar adat yang disebut Huwali Lo Humbiya. Paluwala artinya polunete unggala’a to delemo pohla’a,  yakni suatu ikatan keluarga pada keluarga besar: Duluwo lou limo lo pohala’a Gorontalo, Limboto, Suwawa, Bolango, dan Atinggola.
Sedangkan Bili’u berasal dari kata bilowato artinya ‘yang diangkat’, yakni sang gadis diangkat dengan memperlihatkan ayuwa  (sikap)  dan popoli  (tingkah laku), termasuk sifat dan pembawaanya di lingkungan keluarga. Pakaian ini dipakai pada waktu pengantin duduk bersanding di pelaminan yang disebuat pu’ade atau tempat pelaminan. Kemudian pengantin mengenakan pakaian Madipungu dan Payunga Tilambi'o,  yaitu pakaian pengantin wanita tanpa Bayalo Bo”Ute atau hiasan kepala, cukup pakai konde dengan hiasan sunthi dan pria memakai Payunga Tilambi’o.
Yang terakhir sang pengantin mengenakan Pasangan dan Payunga Tilambi’o, yaitu pakaian pengantin wanita dengan tiga perempat tangannya dipakai acara resepsi, di mana pengantin wanita bebas bersuka ria dengan sahabat–sahabat sebaya sebagai penutup acara masa remajanya.
Dalam adat perkawinan Gorontalo sebelum  hari H dilaksanakan acara “Dutu“,  di mana kerabat pengantin pria akan mengantarkan harta dengan membawakan buah–buahan, seperti buah jeruk, nangka, nenas, dan tebu. Setiap  buah yang dibawa juga punya makna tersendiri, misalnya buah jeruk bermakna bahwa ‘pengantin harus merendahkan diri’, duri jeruk bermakna bahwa ‘pengantin harus menjaga diri’, dan rasanya yang manis bermakna bahwa ‘pengantin harus menjaga tata kerama atau bersifat manis supaya disukai orang. Nenas, durinya juga bermakna bahwa pengantin  harus menjaga diri, dan begitu pula rasanya yang manis. Nangka dalam bahasa Gorontalo Langge lo olooto, yang berbau harum dan  berwarna kuning emas mempunyai  arti bahwa pengantin tersebut harus memiliki sifat penyayang dan penebar keharuman. Tebu warna kuning bermakna bahwa pengantin harus menjadi orang yang disukai  dan teguh dalam pendirian.



Opini Tentang Suku Gorontalo

Suku Gorontalo mempunyai beragam budaya seperti tari,alat musik tradisional,adapt istiadat,upacara keagamaan,rumah adapt,pakaian adat.
Dalam upacara pernikahan masyarakat Gorontalo hanya menggunakan empat warna utama, yaitu merah, hijau, kuning emas, dan ungu. Warna merah dalam masyarakat adat Gorontalo  bermakna ‘ keberanian dan tanggung jawab;  hijau bermakna ‘kesuburan, kesejahteraan, kedamaian, dan kerukunan’; kuning emas bermakna  ‘kemuliaan, kesetian, kebesaran, dan kejujuran’; sedangkan warna ungu bermakna ‘keanggunanan dan kewibawaan’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar