Adalah sebagai khittah dari “musik pinggiran”, semangat dan
aktifitas bergairah terus dari pelaku dan penggemarnyalah yang membuat “musik
pinggiran” terus bernafas, walau keringat terus meleleh. Begitupun adanya
dengan jazz di tanah air kita. Ini cerita mengenai jazz pada awal pergerakannya
di Nusantara….
Ketika jazz mulai dikenal di awal 1900an, jazz yang kental
dengan unsur march, ragtime, dance-hall music di seputaran New Orleans, maka di
tanah air jazz juga dikabarkan masuk di waktu yang sama. Pada tahun 1920,
tercatat ada band di bawah pimpinan seorang musikus yang nasionalis, Wage
Rudolf Supratman, Black & White. Band tersebut terbentuk dan bermain di
kota Makasar.
Pada seputaran tahun tersebut, jazz di Indonesia pada jaman
sebelum kemerdekaan memang dimainkan oleh musisi Indonesia juga Belanda.
Pergerakan lain juga terjadi dalam skala kecil di beberapa kota besar di Jawa,
semisal di Jakarta dengan terbentuknya Melody Makers yang ditokohi Jacob
Sigarlaki. Waktu itu Jacob didukung musisi lain seperti Bootje Pesolima, Hein
Turangan, Nico Sigarlaki hingga Tjok Sinsu.
Melody Makers berdiri di era 1930an, sementara di tahun
1940an Hein Turangan kemudian juga membentuk grup sendiri bernama Jolly Strings
di Jakarta. Di era 40an tersebut sudah muncul pula seorang kritikus jazz
bernama Harry Liem, yang aktif menulis di Jazz Wereld. Setelah selesainya
Perang Dunia kedua, Harry Liem pindah ke Amerika dan tetap meneruskan karir
penulisan jazznya di sana.
Catatan sejarah jazz di Indonesia lebih lengkap memang akhirnya
lebih dideteksi selepas Indonesia merdeka. Setelah muncul nama-nama seperti
Nick Mamahit, Bart Risakotta, Freddy Montong, Didi Pattirane, Said Kelana, Mus
Mualim, Bubi Chen, Jopie Chen, Jim Espehana, Jack Lemmers (yang kemudian lebih
dikenal sebagai Jack Lesmana) hingga kemudian juga Didi Tjia, Benny Mustapha,
Benny Likumahuwa, Maryono, Bill “Amirsyah” Saragih, Lodi Item, Eddy Karamoy
sampai Hasbullah, Kiboud Maulana dan Ireng Maulana.
Nick Mamahit di pertengahan 1950an sempat merilis album
Sarinande, yang mana Nick pada piano didukung Bart Risakotta (drums) dan Jim
Espehana (bass). Album tersebut dianggap sebagai tonggak rekaman musik jazz di
tanah air.
Di tahun 1967, Indonesia All Stars sempat muncul mengagetkan
di ajang Berlin Jazz Festival. Saat itu grup tersebut, yang konon berlatih
susah payah dengan segala bentuk keterbatasan saat itu, terdiri dari Bubi Chen
(piano), Jopie Chen (bass), Jack Lesmana (gitar), Benny Mustapha Van Diest
(drums) dan Maryono (saxophone). Mereka menyodorkan “jazz Indonesia” seperti
komposisi ‘Djanger Bali’ dan ‘Ku Lama Menanti’ (disingkat KLM, menjadi “ucapan
penghargaan dan terima kasih” bagi dukungan perusahaan penerbangan Belanda, KLM
untuk keberangkatan grup tersebut)
Dalam kesempatan itu, Bubi Chen mendapatkan respon sangat
positif dari para penulis jazz internasional. Ia lantas disebut sebagai pianis
jazz terbaik di Asia, selain digelari sebagai “Art Tatum of Asia”. Namun
penampilan grup Indonesia All Stars juga mendapatkan sambutan sangat hangat
dari penonton.
Perlu diketahui Art Tatum bisa disebut salah satu pianis
jazz terbesar yang pernah ada. Pianis yang karena gangguan katarak sejak kecil,
hingga nyaris buta kedua matanya, tercatat sempat menghasilkan sekitar 13 album
solo. Ia dikenal luas lewat trionya bersama Tiny Grimes (guitar) dan Slam
Stewart (bass) di tahun 1943. Tatum yang meninggal dunia di tahun 1956, pernah
membuat Charlie Parker yang masih remaja mau menjadi tukang cuci piring di
clubs dimana Tatum bermain, untuk bisa terus menyaksikan dan mendengar
permainan Tatum.
Kemudian di tahun 1970 dalam kesempatan Expo’70 di Jepang,
tampil pula kolaborasi pianis Mus Mualim dan violis Idris Sardi. Mereka
mencengangkan pula penonton saat itu lewat sodoran konsep “jazz timur”nya pula,
antara lain dengan memainkan ‘Es Lilin’.
Di sekitar saat Indonesia All Stars bermain di Berlin,
sempat juga diedarkan album Djanger Bali yang dimainkan lewat kolaborasi
Indonesia All Stars bersama pemusik jazz Amerika, Tony Scott. Ada beberapa
repertoar yang mengandung unsur musik tradisi Nusantara dalam album tersebut,
tapi mereka tidak memainkannya dengan menyertakan peralatan musik tradisi.
Karena bebunyian musik tradisi diwakili oleh petikan gitar Jack Lesmana atau
pola tiupan saxophone Maryono yang mengadaptasi pola glissando musik karawitan
sunda.
Masih di seputaran dekade 60-an, jazz Indonesia juga
meramaikan tempat-tempat hiburan malam seperti bar atau kafe. Dari lingkungan
tersebut ikut muncul multi-instrumentalis, Bill Saragih, yang kemudian
melakukan perjalanan ke beberapa negara di Asia hingga Amerika, setelah itu
memilih menetap di Australia untuk belasan tahun lamanya. Bill antara lain
dikenal lewat kelompok The Jazz Riders. Grup ini pada awalnya dibentuk oleh
Didi Pattirane, namun setelah Didi Pattirane pindah ke New York, diteruskan
oleh Didi Tjia dan tetap bersama Bill Saragih.
Memasuki dekade 70-an, kehidupan jazz Indonesia dilanjutkan
dengan aktifitas di beberapa kota besar. Misalnya di Jakarta dengan Jack
Lesmana didukung penuh sang istri, Nien Lesmana. Mereka aktif menggelar jazz di
panggung, terutama di areal Taman Ismail Marzuki dan juga di layar kaca, TVRI.
Tontonan rutin digelar, walau seringkali minim penonton, konon pernah terjadi
satu acara jazz di TIM hanya disaksikan tiga orang penonton saja!
Pada tahun 1976, dalam acara bertajuk Jazz Masa Dulu dan
Kini, 30-31 Mei 1976 muncullah musisi belia. Dia bermain piano masih di atas
pangkuan Broery Marantika, dengan kaki belum dapat menyentuh pedal. Dialah
musikus masa depan, Indra Lesmana. Di waktu itu pula, Jack Lesmana
memperkenalkan kakak-beradik yang disebut musisi jazz sangat berbakat yang
datang dari Surabaya, Oele dan Perry Pattiselanno.
Pementasan Jazz Masa Lalu dan Kini itu kemudian direkam dan
dirilis ke publik. Merupakan rekaman live pertama di tanah air saat itu. Dalam
rekaman tersebut, seperti juga dalam pementasannya, tampil para musisi papan
atas seperti Bubi Chen, Benny Likumahuwa, Didi Tjia, Benny Mustapha, Abadi
Soesman, Margie Segers, Rien Djamain, Broery Marantika. Termasuk pula Indra
Lesmana dan kakak-beradik, Oele dan Perry Pattiselanno.
Di Bandung kegiatan jazz digalang antara lain oleh para
penikmat jazz dan termasuk Hasbullah bersama Sonata 47. Hasbullah adalah ayah
kandung musisi kakak-beradik, Elfa Secioria dan Hentriessa Yulmeda, yang pada
waktu kemudian lantas menjadi motor pergerakan lanjutan di Bandung. Di Surabaya
terdapat tokoh-tokoh seperti Bubi Chen dan Maryono.
Menyangkut rekaman, di tahun 70-an, Jack Lesmana juga kerap
menghasilkan album rekaman jazz. Selain album solo, juga album dari beberapa
penyanyi seperti Margie Segers, Rien Djamain, Broery Marantika. Dan saat itu
terdapat label rekaman Hidayat, sebagai label indie yang aktif memproduksi
rekaman-rekaman jazz. Hidayat kemudian ditemani label lain, Pramaqua.
Pramaqua antara lain merilis album Jopie Item Combo &
Idris Sardi di tahun 1977, yang antara lain didukung pula musisi kawakan
seperti Karim Suweilleh (drums), Abadi Soesman (drums) dan Wempy Tanasale
(bass). Album ini mengetengahkan duet permainan biola Idris Sardi dan raungan
gitar Jopie Item.
Jopie Item sejak pertengahan 1970an muncul sebagai generasi
lanjutan jazz Indonesia yang lumayan aktif bermain di pentas clubs dan TVRI.
Grupnya waktu itu yang terkenal adalah Jopie Item Combo antara lain dengan
Karim Suweilleh, bassist funky pertama, Wempy Tanasale. Dengan kibordisnya Alex
Faraknimella, kerap juga Jopie bermain dengan Rully Johan atau Abadi Soesman.
Sementara Abadi Soesman sendiri juga memiliki proyek jazz
rocknya yang lain, dengan kelompok The Eternals, yang juga bermain di clubs.
Abadi Soesman dikenal saat itu dengan penyanyinya, Mira Soesman.
Mulai juga berkelana di clubs ataupun bar dan kafe di era
80-an beberapa nama jazzer lain, seperti Ireng Maulana dan Kiboud Maulana.
Kemudian lainnya adalah gitaris kawakan Victor Rompas, yang muncul di kafe-kafe
milik pasangan artis Frans Tumbuan dan Rima Melati.
Di akhir 1970-an, tepatnya di 1978, berdirilah kafe yang
lantas menjadi salah satu tempat trendy terpenting pergerakan jazz di era 80an,
Green Pub, di gedung Djakarta Theatre di pusat kota Jakarta. Waktu itu yang
tampil dalam grup yang memakai nama Gold Guys sebagai formasi perdana adalah
Armand (kibor), Djoko Waluyo Haryono (gitar), Dicky Prawoto (bass), Karim
Suweilleh (drums) dan Embong Rahardjo yang kerap digantikan Maryono
(saxophone). Vokalisnya waktu itu adalah Jackie Bahasoean, vokalis jazz yang
datang dari Surabaya.
Pada jaman 70-an tersebut, jazz Indonesia juga didukung oleh
beberapa penulis yang adalah penggemar jazz setia seperti Soedibyo PR dari
Bandung selain Tim Kantoso DM yang keduanya selain menulis juga membawakan
acara jazz di radio. Ada pula mantan bassist Jim Espehana, yang lantas menjadi
penulis dan kritikus jazz di Bandung,.Selain Indra Malaon SH, yang di tahun
1980an kemudian mendirikan Perhimpunan Jazz Indonesia. Indra Malaon kerap
siaran jazz di radio bareng Tim Kantoso.
Perlu diingat pula, di akhir 70-an tersebut mulai terdeteksi
pergerakan jazz di lingkungan kampus. Yang paling menonjol adalah Universitas
Indonesia lewat para mahasiswa Fakultas Ekonominya. Pada waktu itu muncul
Chandra Darusman dengan kelompok vokalnya bernama Chaseiro yang antara lain
didukung teman-teman sekampusnya seperti kakak beradik Helmie dan Rizali
Indrakesuma, Edi Hudioro, Norman Sonisontani atau Omen, selain anak fakultas
kedokteran, Aswin Sastrowardoyo.
Kelompok ini di rekaman maupun di atas pentas kerap didukung
musisi berbakat dari lingkungan SMA antara lain dari SMA di kawasan Bulungan,
Jakarta Selatan. Yang kerap mendukung adalah adik kandung Edi Hudioro yaitu
drummer Uce Haryono selain peniup klarinet, Rezky Ratulangi Ichwan.
Selain Chaseiro yang sejatinya pada rekamannya lebih ke
bentuk pop dengan sedikit aroma jazz, muncul pula musisi muda lain Fariz Rustam
Munaf. Fariz merilis album yang lumayan tebal unsur jazz rocknya yaitu Sakura
di tahun 1978. Fariz adalah wakil figur muda dari lingkungan SMA selain Uce dan
Rezky di atas, yang tampil ke permukaan meramaikan pergerakan jazz Indonesia.
Walau pada waktu itu, Fariz lebih dipandang sebagai musisi dan penyanyi pop.
Fariz disusul kelak oleh Addie MS juga Raidy Noor.
Di akhir periode 70-an tersebut, juga kian banyak
penyanyi-penyanyi yang aktif di lingkungan kafe, menyanyikan lagu-lagu bertema
jazz, jazz-pop seperti Hemi Pesolima, Henry Manuputty, Utha Likumahuwa, Ria
Likumahuwa, Aska Daulika hingga Vicky Vendi.
Kelak pada periode berikutnya, di tahun 1980-an, nama-nama
seperti Chandra Darusman, Chaseiro, Fariz RM hingga Jopie Item, Ireng Maulana,
Utha Likumahuwa dan termasuk Elfa Secioria dan Indra Lesmana menjadi lebih
besar dan menjadi motor utama penerus kehidupan jazz di tanah air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar